Paris dan Abel
“Neng, bukannya ini udah 5 taun sejak kematian Abel?” kata Ibu.
Aku terdiam mendengar ucapan Ibu. Bagaimana aku bisa melupakannya? dia adalah abelku, pikirku. Aku berniat mengakhiri hidupku jika ada informasi jelas bahwa Abel benar-benar sudah mati. Aku dan Abel, kami adalah dua insan yang tak dapat dipisahkan. Aku amat sangat mencintai Abel, begitu pun Abel. Aku tahu tanpa ia harus mengucapkannya. Aku punya kepercayaan diri Abel pun sangat mencintaiku. Dia berjanji akan kembali.
“Ikhlaskan, Neng. Abel juga gak mau neneng seperti ini.” kata Ibu dengan logat Sunda yang kental sambil menepuk pundakku. Aku hanya tersenyum kecut dan mengangguk, mengiyakan segala ucapan yang hampir mustahil untuk aku lakukan. Aku menatap jalanan yang terlihat sunyi dari jendela, melihat rintik hujan perlahan-lahan turun mengguyur kota Paris. Kota Paris yang cantik nan romantis, ditambah lagi dengan hujan yang hanya rintik-rintik.
Pertemuanku dengan Abel pun saat hujan, di Jembatan Mirabeau. Itu adalah hari di mana aku pindah ke Paris, ikut Bapak bekerja bersama ibu dan adik-adikku. Melihat hujan, membuatku kembali menari-nari ke masa itu. Memori tentang hari itu mulai turun satu-satu. Aku ingat, saat itu aku teresat dan aku hanya bisa berbahasa Inggris. Abel yang gagah dan tampan datang menghampiriku yang terlihat kebingungan dan ingin menangis.
Betapa takutnya aku ketika tak ada seorang pun datang menghampiriku, setidaknya bertanya apa yang bisa dibantu. Seorang laki-laki bertubuh tinggi, kulitnya yang terlihat dingin dan seputih salju, Wajahnya terlihat persis seperti orang lokal Perancis, wajah khas yang asing di mataku. Kaki panjangnya yang seperti galah panjang kemudian dibalut celana katun berwarna cokelat melangkah menghampiriku perlahan dan hati-hati seakan ia sedang berjalan di atas air yang membeku. Aku takut, tetapi hanya diam. Tubuhnya yang tinggi membuatku terlihat kerdil berada di sampingnya karena memang begitulah tubuh orang Indonesia pada umumnya jika dibandingkan oleh mereka.
“Ada apa, Nona?” tanyanya padaku menggunakan bahasa Perancis yang masih asing di telingaku. Aku menatap matanya, aku berusaha mengeluarkan suaraku. Mulutku terbuka, tetapi tak ada yang keluar dari sana. Lidahku kelu, hilang semua kata-kata dalam bahasa Inggris yang selama ini aku sombongkan di hadapan sepupu-sepupuku. Aku hampir berpikir masa ini karma karna kesombonganku?, tetapi segera aku singkirkan pikiran buruk itu.
Jantungku hampir tak berdetak saat menyadari tatapan Abel yang masih menungguku mengucapkan sesuatu. Matanya yang jernih sehijau batu zamrud yang berkilauan menatap langsung ke bola mataku. Hidungnya yang mancung sedikit bengkok hampir saja aku kira hidungnya patah, alisnya yang tebal menegaskan gurat wajahnya, bibirnya yang semerah delima terlihat ramah saat tersenyum menatapku, dan bentuk rahangnya, mempertajam bentuk wajahnya. Abel terlihat sangat tampan kala itu. Ada rambut-rambut kecil yang menutupi di sekitar rahangnya yang membuat penampilan Abel menjadi sangat maskulin. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Harus kuakui, ketampanan Abel membuat ketakutanku hilang sejenak. Aku bahkan diam beberapa saat menikmati wajah tampan Abel, sebelum akhirnya aku sadar harus mencari jalan untuk pulang.
Aku memberikan isyarat bahwa aku tak mengerti apa yang diucapkan oleh Abel. Kemudian dia dengan segera paham dan bertanya menggunakan bahasa Inggris. Setelah itu aku baru mengatakan pada Abel bahwa aku tersesat dan mencari jalan pulang. Abel tersenyum, senyum itu yang merekah bagai matahari di tengah musim dingin membuat rasa takutku sirna begitu saja. Dia mengatakan akan membantuku mencari jalan untuk pulang. Aku mengangguk dan mengikuti Abel sambil memberikan informasi nama tempat aku tinggal. Setelah itu kami berpisah begitu saja. Tak ada basa-basi sekadar berkenalan atau minta nomor telepon, kami berpisah begitu saja bak angin yang meniup butiran pasir dan berlalu.
Itulah pertemuan pertama kami. Setelah itu, kedua kali kami bertemu adalah di kantor tempat Bapak bekerja. Ternyata, ia adalah reporter yang bekerja di sana. Aku bukan lagi senang, dapat melihatnya sekali lagi seperti menemukan air di tengah padang pasir. Aku yang diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, tak akan aku sia-siakan. Sebelum aku bertindak, ternyata dia mendekatiku lebih dulu saat itu. Meminta nomor telepon, dari sana lahirlah pertemuan selanjutnya, pertemuan ketiga, keempat, dan seterusnya.
Abel pria yang baik, sopan, dan pekerja keras kata Bapak. Hari ketika Abel menggenggam tanganku dan menyatakan cintanya padaku di Jembatan Mirabeau, dia datang pada Bapak, meminta izin untuk memacariku. Aku hanya bergurau saat aku katakan bahwa adat budaya kami, laki-laki harus meminta izin pada ayahnya jika ingin menjalin hubungan dengan anak gadisnya. Tak kusangka dia benar-benar melakukannya pada Bapak. Aku hampir menangis saat Bapak juga merestui hubungan kami. Bapak mengenal betul karakter Abel. Abel adalah mitra kerja yang baik di mata Bapak. Setelah itu kami menjalin hubungan selama 5 taun lamanya.
Pertemuan kami memanglah takdir. Namun siapa sangka takdir pulalah yang memisahkan kami. Sebulir air keluar dari ujung mataku. Rasanya panas membakar mata yang pedas akibat takdir keras menghantam batas. Aku, berada di ujung rasa sanggupku untuk menunggu kau datang menjemput. Sore itu adalah sore yang berat untukku.
***
Aku berjalan menikmati angin dingin karena cuaca masih hujan rintik-rintik. Dingin yang menusuk tulang ini tak sebanding dengan dinginnya aku tanpa Abel. Aku menatap langit melalui payung bening milikku. Aku melihat air yang mengalir menetes dari ujung payungku. Suara air yang jatuh di atas payungku, kemudian mengalir bersama kenanganku. Aku ingat saat Abel menggenggam tanganku erat sambil berjalan di jembatan Mirabeau. Tanganya yang besar, membuatku nyaman dan hangat saat ia menggandengku. Aku menghela napas seakan ada beban berat yang menekan dadaku. Aku menatap sungai Seine yang mengalir dengan tenang. Kenapa kau bisa begitu tenang, saat Abel tak ada di sini? pikirku menyalahkan Sungai Seine. Air mataku mengalir kembali menangisi laki-laki yang tak kunjung hadir memenuhi janjinya.
Abel, setelah kami menjalin hubungan 5 tahun lamanya, ia ditugaskan untuk meliput di daerah peperangan. Abel mengajukan diri sebagai relawan yang akan berangkat ke daerah peperangan. Misi kemanusiaan katanya. Aku mendukung segala keputusannya, tetapi aku cemas. Abel meyakinkanku bahwa ia pasti kembali, ia harus kembali. Ia berencana untuk meminangku sekembalinya ia dari sana, itu janjinya yang belum sempat ia tepati. Dia sudah menyiapkan segalanya. Kukatakan padanya, sampai kapan pun akan kutunggu, pasti.
Sebelum dia pergi, dia menyatakan cintanya berulang kali padaku. Aku mencintaimu, aku tak dapat menghitung berapa kali kalimat itu keluar dari mulutnya. Aku sampai bosan dengar kalimat yang tak henti-hentinya ia ucapkan hari itu. Dia banyak bercerita, hari itu Abel lebih banyak berbicara dari biasanya. Kisah demi kisah ia ceritakan padaku. Dari cerita paling hambar hingga cerita paling menyenangkan. Ia tak pernah melepaskan tanganku, kecuali saat ia ingin ke toilet. Abel bercerita tentang hari pertemuan pertama kami, alasannya menghampiriku adalah ia terpukau dengan wajahku yang menurutnya manis.
“Aku seperti tersihir saat melihat wajahmu. Kenapa wajahmu begitu manis? Aku sampai takut kau dikerubungi semut,” katanya sambil tertawa. Kemudian sampai saat mata kami bertemu ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Setidaknya satu hal yang kutahu, kami memang ditakdirkan bersama.
“Abel brengsek! Kenapa kau pergi sedangkan aku tetap di sini hidup di bawah bayangmu?!” teriakku. Tak peduli orang berpikir aku gila atau apa, pandangan orang tak lagi menjadi masalah untukku. Mereka tak bisa memberikan apa yang kumau, untuk apa aku memikirkan apa yang mereka mau. Aku jatuh terduduk tak peduli jalanan yang basah karena hujan tak kunjung berhenti. Tak peduli tubuhku basah diguyur rintik hujan yang sejak tadi enggan pergi. Setidaknya ada yang ikut menangis bersamaku hari ini.
Aku ingin menyususl Abel. Jika memang Abel telah pergi, tak ada harapan untukku tetap di sini. Aku berniat untuk melompat ke dalam dinginnya sungai Seine, tempat bersejarah dalam kisah cintaku dan Abel. Tempat ini menjadi tempat pertama dan terakhir kisah cinta kami.
Aku dapat merasakan basahnya aspal di bawah kakiku. Air yang mengalir di bawah telapak kakiku yang sudah tak beralas, bahkan aku tak ingat kapan aku kehilangan alas kakiku. Aku memejamkan mata, menikmati memori indahku bersama Abel. Pedih akan kenangan menyerang dengan sebilah pedang yang tajam datang menghujam. Karena ketika dua insan yang saling mencintai, setiap menitnya, setiap detiknya adalah harga yang tak dapat ditebus dengan apapun. Aku hanya bisa tersenyum menikmati setiap lekuk wajah Abel. Aku merindukanmu, sayang, kataku.
Mau terharu, tapi sedih
BalasHapusAntara mau sedih, marah, terharu juga
BalasHapus