Titip Rindu Di Bawah Pohon Tanjung
Wanita itu duduk di bangku taman sambil terisak memukul-mukul dadanya. Bangku taman yang terletak di bawah rindangnya pohon Tanjung itu adalah tempat yang paling ia benci sekaligus yang paling ia dambakan. Angin meniup kasar di sela ranting-ranting, menjatuhkan puluhan ranting dan pucuk daun pohon tanjung. Hujan dedaunan ini cukup membuat taman terlihat kotor. Nyaman duduk berlama-lama di bangku ini sambil menunggu, jika angin lebih bersahabat. Gemuruh mulai menggelegar di kaki langit, menggantung pada kapas-kapas kelabu yang siap menurunkan kepedihannya kapan saja. Air mulai turun jarang-jarang.
Wanita itu terlihat seperti berumur 27 tahun. Rambutnya yang panjang dan hitam legam, dibiarkan terurai dan melambai-lambai tertiup angin. Sesekali rambutnya menutupi sebagian wajahnya yang basah karena air mata dan keringat. Tangannya juga sesekali harus merapikan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinganya. Dia ingin menatap taman itu lama-lama. Dia menatap penuh andai-andai pada permainan anak yang ada di taman itu. Matanya belakangan sering memantulkan kepedihan melihat taman anak-anak itu. Bulir-bulir kepedihan enggan berhenti setiap kali dia menatap papan seluncur dan ayunan yang ramai dengan canda tawa anak-anak. Matanya cekung seperti palung yang melengkung di wajahnya yang murung. Wanita dengan wajah manis khas Jawa itu sungguh terlihat sangat terpukul dengan kenyataan yang tak beruntung.
Sekar, wanita itu baru saja kehilangan bayinya yang telah ia tunggu 9 bulan penuh. Hari ini tepat sebulan setelah kepergian buah hatinya itu. Dia hanya berkesempatan mengucapkan selamat datang kepada buah hatinya itu. Kemudian beberapa saat setelahnya, malaikat kecilnya itu sudah berpamitan kembali. Semuanya terjadi begitu cepat, sehingga Sekar tak bisa memproses dengan cepat kejadian ini. Anehnya, setiap malam, setiap ia terbangun saat bulan tepat berada di atasnya, Sekar mendengar suara tangisan malaikat kecilnya. Sekar terbangun dan spontan membuatkan susu untuk buah hatinya, dan mendapati ranjang bayi yang kosong. Umur bayinya baru 3 minggu sebelum ia berpamitan.
"SEKAR! SEKAR!" Teriak seorang laki-laki tiga tahun lebih tua dari Sekar. Suara berat itu menandakan kecemasan tiada tara saat meraung memanggil nama wanita yang ia cintai itu. Ia sudah berjam-jam mencari Sekar ke seluruh kompleks rumahnya. Dan di taman ujung jalan inilah, ia melihat seorang wanita dengan tubuh kurus dan wajah pucat karena enggan makan beberapa hari terakhir ini. Dan, laki-laki ini pulalah yang sering kali menghampiri Sekar di saat ia menjerit di tengah malam karena menyadari putrinya telah tiada. Laki-laki inilah yang selalu datang dan mencari Sekar. Sore ini, di penghujung musim hujan, laki-laki itu berlari-lari dengan wajah cemas mencari Sekar.
Kaki panjang laki-laki itu lemas melihat Sekar yang duduk sambil menangis memukul-mukuli dadanya. Badannya yang semula tegap dan gagah kini membungkuk lemah seperti tak berdaya. Dengan tubuh yang kuyup karena keringat, ia menghela napas berat sekaligus lega melihat Sekar di sana. Laki-laki itu hampir mati putus asa karena tak menemukan Sekar. Rahangnya yang tegas memperjelas kecemasan yang meliputi wajahnya. Rambut laki-laki itu yang lebat dan sedikit keriting, kini terlihat lepek karena keringat. Dia berlari mencari Sekar ke seluruh kompleks rumahnya. Tadi Sekar kabur dari rumah sambil berteriak, "Aku sudah tak ada harapan untuk hidup! Biarlah aku mati bersama anakku." Lalu Sekar lari meninggalkan rumah.
Laki-laki ini berlari mengejar Sekar. Tapi Sekar berlari terlalu cepat, sehingga laki-laki ini tak sempat menyusulnya. Sekarang laki-laki ini melihat Sekar dengan perasaan pedih tak terkira. Wanita yang selama ini menguatkannya, jatuh tak berdaya tanpa harapan. Mata wanita itu meredup tenggelam dalam keputusasaan, seperti rembulan tertelan gerhana. Tubuh wanita itu kurus seperti kerangka yang ada di ruang laboratorium kesehatan. Wajahnya yang semula merah berseri seperti buah tomat yang baru saja matang dan segar, kini pucat dan kusam seperti tomat busuk berwarna kelabu. Wanita itu terlalu lama hanyut dalam kepedihan tiada tara. Tapi, mau bagaimana pun rupanya, laki-laki ini tetap mencintainya sepenuh jiwanya.
"Aku tak bisa hidup, Dimas. Kenyataan ini terlalu pahit untuk aku hadapi. Kenapa Tuhan mengambil malaikat kecil kita?" Tanya Sekar masih memukul-mukul dadanya. Sekar merasa seperti lehernya digantung, tapi belum saatnya dia mati. Dia terus merasakan sakit tanpa akhir ini yang penuh kesesakan, seakan-akan dadanya dipenuhi asap pekat. Apa salahnya? Apa ini semua karma? Apa yang telah ia perbuat sampai ia dihukum sedemikian rupa? Pikiran-pikiran itu terus terulang-ulang dalam benak Sekar
Dimas duduk di samping Sekar. Ia meremas tangannya kuat-kuat. Kakinya tak bisa diam, digoyang-goyangkan cemas. Alisnya bertautan, dahinya berkerut. Dimas berpikir keras untuk menenangkan Sekar. Ia tak pandai dalam menenangkan orang. Lagi pula ia sama terpukulnya dengan kepergian malaikat kecil mereka. Dimas juga merasakan sama pedihnya saat kehilangan putri mereka. Dimas menatap kanan dan kiri seolah-olah mendapatkan jawaban atas teka-teki yang seperti biasa Sekar buat.
"Kau harus fokus, Dimas. Bagaimana kalau kau sedang rapat, kemudian karyawanmu bertanya dan kau hanya diam melongo tidak paham sampai di mana percakapan kalian? Coba kau lihat sekelilingmu, perhatikan baik-baik, ya?" kata Sekar sambil tertawa, tawa yang selalu ia dengar dengan kebahagiaan yang membuncah. Sekar senang menjahili Dimas yang mendapat jawaban atas kuis tiba-tiba dari Sekar. Wanita itu tak pernah marah atas ketidakpekaan Dimas, sekalipun ia tidak ingat kapan tanggal jadian mereka. Wanita yang selalu ia pandang dengan tatapan penuh cinta. Itu adalah masa-masa di mana ia dan Sekar sedang berjalan menuju tahap yang lebih serius. Sekarang, ia bahkan tak sanggup melihat wajah cintanya itu yang kini terlihat penuh dengan kepedihan. Tawanya telah hilang sejak perginya malaikat kecil mereka, bagai lilin ditelan kegelapan.
"Maafkan aku, Sekar. Aku tak bisa menyelamatkan anak kita. Tapi kumohon, jangan lakukan ini. Jangan lari dari keburukan yang tidak kita lakukan. Jangan lari dari takdir yang di tetapkan untuk kita, Sekar. Kita belum ditakdirkan untuk membesarkannya. Dia hanyalah titipan, sayang. Percayalah, semua ini akan berlalu." Bujuk Dimas. Bibirnya bergetar. Tak ada kata penenang yang terpikirkan lagi olehnya untuk menenangkan wanita yang ia cintai itu, yang ia pikirkan hanyalah, jangan sampai kehilangan Sekar juga. Dimas menggigit bibir bawahnya ketika ia gelisah, itu kebiasaan lama yang telah ia tinggalkan sejak ia menikah dengan Sekar. Dimas mencoba mencari harapan di mata wanita yang amat ia cintai itu. Tapi, tidak ada. Tidak ada harapan di mata wanita itu.
Sekar diam, menatap pedih taman anak-anak yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan. Lalu Sekar menyeringai dan tertawa keras. Dimas panik bukan kepalang. "Sekar! Sekar!" Dimas menggoyang-goyangkan tubuh Sekar. Ia mencoba menyadarkan Sekar. Ditatap sekali lagi mata itu, mencari sesosok gadis yang membuatnya jatuh hati dulu. Mata seorang gadis yang memberinya harapan bahwa ada seseorang yang peduli dan begitu mencintainya, di saat ia sendiri membenci hidupnya. Binar di mata gadis yang dulu dan sekarang amat ia cintai. Binar itu hilang, tidak ada sorot mata dari sosok yang sangat ia dambakan dulu. Binar itu benar-benar hilang.
Dimas menatap cemas wanita yang amat ia cintai itu. Tidak-tidak, ini tidak benar. Sekar pasti akan kembali kepadaku, Sekar selalu kembali padaku, Dimas menenangkan hati dan pikirannya.
Seketika perasaan gelisah itu membuncah, menggebu-gebu di dalam dadanya. Dimas mulai gelisah melihat tingkah istrinya mulai memburuk. Ia meremas tangan Sekar, mencoba menyalurkan kehangatan untuk menenangkan Sekar. Tapi, tak ada kehangatan juga di hatinya. Mereka samasama terpuruk dengan kepergian malaikat kecil mereka.
Betapa hancurnya Dimas saat melihat darah menetes dari genggaman tangan Sekar. Langit seakan-akan runtuh di bawah kaki langit dan menimpa segala kenyataan yang ada. Tangan Dimas gemetar memaksa Sekar untuk membuka telapak tangannya. Mata Dimas terbelalak tak percaya, mulutnya terbuka tanpa berkata. Sekar meremas silet tajam di telapak tangannya. Dimas tak dapat membayangkan, apa yang terjadi jika ia terlambat menemui Sekar. Jantungnya memompa darah lebih cepat hingga naik ke ubun-ubun. Dimas ingin sekali marah, dan membentak wanita yang berbuat bodoh itu. Tapi ia tak bisa, ia terlalu terkejut.
"Sekar!" Suaranya berhasil meninggi, membuat Sekar terkejut. Sekar menatap mata Dimas. Mata itu pernah menatapnya seperti itu. Mata itu menatapnya seperti itu, saat ia terpuruk karena kehilangan ibunya. Kemudian mata itu melunak, tatapannya melembut dan penuh permohonan, "Kumohon, aku tak ingin mengucapkan selamat tinggal pada orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya. Tolong, Sekar. Aku tak ingin kehilangan kau juga, kita hanya mengucapkan selamat tinggal pada orang yang tak kita kenal." Sekar seketika berderai air mata. Pedih di hatinya sudah tak mampu ia tampung lagi. Deras mengucur bulir-bulir kepedihan yang telah lama ia tahan, dari matanya yang berkilauan. Hujan turun tak kenal ampun, mengguyur dua jiwa yang melolong minta ampun yang teredam hujan.
"Aku merindukan putri kecil kita, Dimas. Aku sangat merindukannya. Rindu ini begitu menyayat hatiku, Dimas." kata Sekar dengan suara tersekat. Dadanya seperti tertimpa beton besar yang menghantam dadanya hingga remuk. Air matanya tak henti-henti mengalir dari matanya yang tertutup oleh kepedihan.
"Aku tahu, sayang. Aku juga merindukannya. Tapi melihatmu seperti ini, lebih menyayat hatiku, Sekar. Kumohon, sadarlah. Aku tahu ini berat untukmu, karena ini juga berat untukku." bisik Dimas di telinga Sekar. Sekar berteriak dalam pelukan hangat Dimas. Pelukan ini cukup menyadarkan Sekar bahwa ia memiliki Dimas untuk menopang kepedihannya.
***
Napas Sekar memburu, keluar dan masuk paru-parunya. Jantungnya berpacu cepat layaknya kuda berderap. Sekar berada di posisi yang mungkin sekarat. Pinggangnya sakit bukan main, perutnya seperti dililit-lilit. Seluruh tulangnya terasa seperti patah secara bersamaan. Bulir-bulir perjuangannya mengalir deras bak air sungai yang turun dari hulu ke hilir. Sorot mata Sekar sungguh penuh harap, penantian, sekaligus perih karena rasa sakit yang luar biasa. Akan ada kehidupan setelah perjuangannya ini, akan ada kebahagiaan yang menunggunya di kemudian hari. Seorang malaikat kecil akan hadir di antara keluarga kecilnya itu. Setelah ini, hidupnya akan semakin sempurna, sesuai mimpi dan harapannya.
“Kau pasti bisa, Sekar. Kau adalah ibu dan istri yang hebat. Kau akan lihat betapa bangganya malaikat kecil kita saat ia melihatmu. Kau pasti bisa.” Bisik Dimas yang senantiasa menemani Sekar sambil menggenggam tangannya erat-erat. Menyalurkan energi untuk menguatkan wanita yang ia pilih sebagai pendamping hidupnya itu. Dimas tak berhenti menguatkan Sekar barang sedetik pun. Laki-laki itu mengelap keringat yang terus mengucur dari wajah manis wanita yang sedang berjuang itu.
Sekar terus mendorong agar ia bisa cepat-cepat bertemu dengan malaikat kecilnya. Ia tak peduli seberapa besar rasa sakit yang harus ia tahan. Ia juga tak peduli dengan kepalanya yang berdenyutdenyut sakit. Perutnya perlahan-lahan mengecil, ia bisa merasakan kehadiran sebuah kehidupan yang telah lama tinggal di perutnya. Penantian ini akan segera berakhir. Ayo Sekar, manismu pasti sudah tak betah lama-lama di dalam perutmu. Ayo, kau pasti bisa, pikir Sekar. Ia mencoba menenangkan pikirannya, berjuang demi menyelamatkan buah hatinya. Sudah berjam-jam malaikat kecilnya tak kunjung keluar. Sekar memiliki proses yang cukup panjang di banding kebanyakan wanita. Sekar hampir menyerah, sampai ia mendengar suara Dimas yang tak hentihentinya berdoa demi keselamatan Sekar dan bayinya. Sekar mendapatkan kembali kekuatan untuk bertahan.
“Ayo, Kar. Sebentar lagi anakmu keluar.” Dokter yang membantu menangani persalinan ini adalah sahabat Sekar. Sahabat yang selalu ada saat suka maupun duka. Sahabat sejak kecil, sejak gigi mereka tanggal dan saling mengejek karena memiliki jendela di mulut mereka. Karin, seorang gadis yang usianya hanya beda satu tahun dengan Sekar. Karin hanya satu tahun terlalu cepat saat mereka duduk di bangku sekolah dasar. Mereka kenal saat sedang mendaftar ulang di sekolahan mereka. Karin menatap Sekar sambil tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong. Sekar hanya tertawa mengejek Karin saat itu. Tapi, sejak saat itu mereka selalu satu sekolah. Tak pernah bisa dipisahkan.
Karin yang memiliki tubuh tinggi dan ramping, sering di kira mereka adalah saudara kembar. Memang bentuk wajah mereka yang hampir mirip, hanya saja Karin putih pucat karena ada keturunan Belanda dalam darahnya dan Sekar yang kuning langsat, persis seperti orang pribumi pada umumnya. Mata mereka sama-sama besar, lagi, yang berbeda adalah yang satu memiliki warna mata cokelat Hazel, dan yang satu hitam pekat. Hidung mereka jelas berbeda, yang satu mancung khas wajah orang Barat, sedangkan yang satu tidak terlalu mancung layaknya orang pribumi. Perbedaan mereka terlihat seperti Belanda dan pribumi. Karin benar-benar mewariskan wajah-wajah nenek moyangnya itu. Sekar sering menggeleng-geleng pada orang yang menganggap mereka kembar dan bertanya-tanya, di mana sisi kembarnya? Lalu tertawa bersama Karin. Mungkin karena mereka terlalu sering bersama, semakin lama orang melihat mereka seperti mirip. Memang untuk masa-masa remaja mereka, Fashion style mereka mirip. Mereka memiliki kegemaran yang sama, tipe yang sama, style yang sama. Tapi setelah kuliah, mereka mulai memiliki gaya masing-masing.
Suara tangisan memecah ruangan yang sejak tadi tegang, seorang tuan putri yang cantik telah berhasil keluar dari balutan hangat induknya. Tangisan bak lagu selamat datang yang menenangkan sekaligus mengharukan membelah langit-langit ketegangan dalam ruangan. Perjuangan Sekar akan berakhir di sini, dan akan memulai perjalanan yang baru. Sekar akan beranjak ke tahap yang lebih lanjut. Tahap yang disebut sebagai Ibu.
Tangan kekar Dimas melepaskan pegangan tangan Sekar. Dimas menerima tubuh kecil malaikat kecilnya yang mungil ke dalam pelukannya. Tangan putrinya bergerak-gerak tanpa arah, kecil, dan mungil. Dimas mengumandangkan azan di dekat telinga putrinya. Itu pesan dari ibu dan bapaknya. Setelah itu, Dimas membawa putrinya yang mungil itu ke dalam pelukan Sekar. Benar-benar perjuangan yang setimpal. Semua terbayarkan segala perjuangannya hanya dengan sekali lihat betapa cantiknya malaikat kecil mereka. Betapa lelah ini tak ada apa-apanya setelah datang kebahagiaan tak terkira ini. Bulir kristal jatuh bersamaan dengan isak kebahagiaan yang meluapluap menyelimuti keluarga kecil Sekar.
“Sungguh cantik malaikat kita, Kar.” Bisik Dimas. Suaranya bergetar menahan tangis haru melihat wajah bayi perempuan yang cantik ini. Dimas masih tak percaya dia akan menjadi seorang Bapak. Kebahagiaan memenuhi ruang dadanya, membuatnya gugup sekaligus bahagia. Dimas berjanji akan melakukan apapun demi menghidupi dua bidadari yang sekarang hadir dalam hidupnya. Dua bidadari yang tak ia sangka justru akan hadir dalam hidupnya. Dimas mencium kening istrinya yang masih bergelimang air mata.
“Dia sungguh mirip dengan kalian berdua. Terutama matanya persis seperti matamu, Sekar.” Kata Karin sambil tersenyum senang melihat kedua sahabatnya akhirnya menjadi sempurna dengan lahirnya seorang putri di antara mereka. Karin tak dapat menahan rasa harunya pun, ikut menangis penuh kebahagiaan melihat sahabatnya memiliki seorang putri.
“Hai bibi Karin, Namaku Luput Putri Lestari.” Kata Dimas dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kecil putrinya. Karin yang mendengar itu hanya tertawa. Ia pernah minta dipanggil aunty saat anak mereka lahir nanti, tapi Dimas selalu menggoda akan mengajarkan anaknya untuk memanggil Karin dengan bibi.
“Kau sudah mencari nama?” tanya Sekar yang tidak tahu bahwa Dimas telah menyiapkan sebuah nama. Sekar menatap Dimas penuh dengan keterkejutan dan pertanyaan. Dimas menatap mata istrinya lekat-lekat, lalu tersenyum.
“Kau tak suka?” tanya Dimas mencoba mencari tahu apa tanggapan Sekar tentang nama yang ia berikan untuk putri mereka. Sekar terdiam beberapa saat, lalu tersenyum menggeleng pada Dimas. Dimas tahu, Sekar pasti selalu setuju dengan keputusannya. Sekar mempercayai hidup dan matinya pada Dimas.
“Tidak, Aku suka nama itu.” Sekar menatap putri mereka yang masih berada diperlukannya. ”Halo, Luput. Ini Ibu.” Sapa Sekar sambil mencium pipi putri mereka. Seakan merespons ucapan Sekar putri mereka bergerak sambil menguap, seperti mengatakan Hai Ibu, aku mendengarmu. Sekar meneteskan air mata harunya lagi. Pada hari pertama lahirnya putri mereka, Sekar menangis.
***
Benaknya kini dibanjiri dengan kenangan-kenangan kelahiran putrinya. Pada hari pertama itu ia menangis sangat bahagia menyambut datangnya malaikat kecil di antara ia dan Dimas. Keluarga kecil itu telah sempurna. Sempurna seperti apa yang ia cita-citakan. Namun, kebahagiaan itu sirna begitu saja tertelan masa. Hanya tiga minggu, Tuhan memberikan kesempatan bagi Sekar untuk menghabiskan waktunya untuk putrinya. Dan itulah tangisan terakhir Sekar untuk putrinya, tangisan kepedihan. Tiga minggu adalah waktu yang singkat untuk bisa melepaskan kasih sayang seorang Ibu dan anak. Sekar tak pernah barang sedetik pun meninggalkan putrinya. Kenangan itu semakin dalam, semakin menyakitkan bagi Sekar. Ia amat sangat merindukan kehadiran putrinya.
Dimas mengetuk pintu dan membuyarkan pikiran Sekar. Sekar sadar, ada masalah lain yang harus ia selesaikan. “Sekar, bisakah kita berbicara?” Kata Dimas sambil menunggu respons dari Sekar. Sekar hanya terdiam tanpa barang sedikit pun menoleh untuk menjawab Dimas. Dimas beranjak masuk dan duduk di samping Sekar yang memunggungi Dimas.
“Sekar, kita harus bisa menghadapi ini. Aku tahu ini tak mudah. Selama kita bersama...” Dimas terhenti karena mendengar suara tawa Sekar. Jantung Dimas berpacu lebih cepat. Tak mungkin, kan, istrinya gila? Segala kemungkinan yang buruk segera ia tepis dan mencoba menggantinya dengan pikiran yang positif. Tapi, dalam situasi seperti ini segalanya bisa saja terjadi. Dimas segera menghentikan pikirannya yang datang bertumpuk-tumpuk menimbulkan keresahan yang baru.
"Bersama katamu? Keluargamu mati-matian membujukku untuk menceraikanmu. Kau bilang ingin menghadapi bersama?” Sekar mendengus. Suara Sekar terdengar bergetar. Dimas tahu, Sekar menahan tangis. Dimas tahu, Sekar punya ketakutan yang besar lebih dari yang dapat ia bayangkan. Sejak peristiwa kepergian putri mereka, keluarga Dimas terutama, banyak yang meminta mereka agar berpisah.
Dimas merasa tertusuk dengan ucapan Sekar. Ia tak berpikir sampai sana. Perlakuan keluarganya terhadap Sekar, cukup membuat Dimas ragu untuk mempertahankan ini bersama Sekar. Bukan karena ia tak mencintai Sekar, bukan, sama sekali bukan. Bahkan bila Dimas harus pisah dengan Sekar, ia bertekad takkan menikahi siapa pun lagi. Sekar adalah satu-satunya wanita yang ia cintai. Dimas takut, justru Sekar yang muak dengan Dimas dan keluarganya.
Dimas menggenggam tangan Sekar. Dimas memaksa Sekar untuk menatap matanya. Mata wanita itu terlihat hitam dan cekung, wajahnya juga terlihat sangat pucat. Namun, untuk pertama kalinya setelah kepergian malaikat kecil mereka, Dimas dapat melihat sesosok gadis yang dulu membuatnya jatuh hati. Mata yang selalu ia dambakan untuk ia pandangi setiap malam, dari gadis yang paling cantik di matanya. Gadis yang selalu tersenyum riang, senang menjahili Dimas dengan segala tingkah lucunya. Ya, Sekarnya sudah kembali, itu hal pertama yang paling ia syukuri saat menatap mata wanita yang ia cintai itu.
“Sayang, sungguh kaulah wanita yang kuat dalam hidupku. Kau yang selalu ada untukku. Sekar, dengarkan aku. Apa pun yang terjadi, aku mencintaimu. Aku akan kuat untukmu, dan kumohon, kuatlah untukku. Kita bisa melalui ini bersama.” Sekar tahu, amat sangat mengetahui bahwa Dimas serius dalam ucapannya. Tidak ada yang bisa mengerti Sekar, seperti Dimas mengerti Sekar, dan juga sebaliknya. Sekar mengangguk, kemudian memeluk erat laki-laki yang amat dicintainya itu.
***
6 tahun kemudian...
“Ibu... Ayo pulang! Rindu capek nih, dari tadi main terus. Ibu lagi apa sih di bawah pohon itu?” Rajuk seorang anak perempuan berumur 5 tahun yang berkucir dua. Wajahnya mulai terlihat lelah karena bermain selama dua jam tanpa henti bersama teman-teman sebayanya. Pipinya yang tembam terlihat berwarna merah semerah tomat. Poninya basah dengan keringat yang mengucur dari pelipisnya menuju lehernya, yang membuat kerah baju anak itu juga menjadi basah. Matanya membulat memohon pada ibunya agar cepat pulang.
“Iya, sayang. Ayo kita pulang.” Kata ibunya. Ibunya segera membereskan barang-barang bawaan putri semata wayangnya itu. Kemudian terhenti karena ada yang memanggil.
“Bu Sekar?” panggil suara merdu yang sangat dikenal. Wanita yang dipanggil pun menoleh. Dia menatap sosok yang lama ia rindukan. Sosok sahabat yang banyak berjasa dalam masa-masa terberat ia sebelumnya.
“Karin? Astaga! Kapan kau sampai di Indonesia?” tanya Sekar, ia langsung memeluk sahabatnya itu dan disambut hangat oleh Karin. “Rindu! Sini dulu, Nak. Ada teman Ibu di sini.” Yang di panggil pun datang sambil memasang wajah cemberut dengan isyarat Kan, katanya mau pulang. Kok malah balik lagi? Rindu sedikit terpesona saat melihat Karin yang memiliki wajah seperti orang asing.
“Wah... Bibi ini bule, Bu?” tanya Rindu, matanya berbinar saat menatap Karin dari ujung kepala hingga kaki. Sekar tertawa mendengar komentar Rindu yang keluar secara spontan. Maklum, Rindu memiliki rasa ingin tahu yang besar, sifat turunan dari ayahnya.
“Bukan, sayang. Bibi orang Indonesia, kok.” Jawab Karin sambil mengelus kepala Rindu, yang cukup membuat Rindu terkejut karena orang asing ini lancar berbahasa Indonesia. Karin tertawa melihat salah tingkah Rindu.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Sekar.
“Sehat, seperti yang kau lihat.” Karin tersenyum lebar. “Bagaimana Dimas? Dia masih sering pulang-pergi Singapura-Indo?” tanya Karin. Sekar mengangguk sambil tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata. Karin melirik taman di belakang mereka. Ia menatap pohon besar yang menjulang di ujung taman. Di sana ada sebuah kursi taman yang terlihat nyaman untuk duduk berlama-lama di sana. Dahan-dahannya melebar hingga meneduhkan taman bermain di taman itu. Daun-daun kering yang tertiup angin berjatuhan ke tanah. Pohon itu seperti menaungi taman dari panasnya matahari di musim kemarau.
“Ini pohon tanjung yang itu? Tempat kau menitipkan Rindu?” Tanya Karin sambil mengamati pohon tanjung di belakang mereka. Sekar terdiam, kemudian tersenyum sambil mengangguk.
jadi rindu itu anak kedua sekar dan dimas? ceritanyaa baguss bangett ada sedih,seneng,susah ah campur aduk dehh sukses teruss buat penulis:)💓💓
BalasHapusWahhh mantul, kerasa sedihnya:(
BalasHapusSedih:(
BalasHapus