Bibir Merah Cabe
Peluh menetes satu-persatu dari dahi wanita paruh baya itu. Umurnya mungkin 50 tahun lebih, ada kerutan-kerutan di sekitar mata dan mulutnya. Setumpuk piring menumpuk tak beraturan di hadapannya, beberapa tercecer di sekelilingnya, dicuci penuh ketelitian. Harus bersih dan kesat, katanya setiap kali memarahi anaknya yang menyuci bila tidak benar. Rambutnya yang keriting dan tidak panjang dikuncir satu, tetapi rambut-rambutnya mulai keluar dari ikatannya. Sekarang rambutnya sudah tak beraturan, rambut bagian atas mulai naik berdiri seperti orang kesetrum listrik. Dasternya basah karena terciprat air dari selang yang kadang seperti ular yang menggeliat-liat.
Seperti tak habis pekerjaannya, ia mengambil pisau dan duduk di lantai dapur di kelilingi cabai, tomat, dan bawang-bawangan. Ia mulai mengitung jumlah cabai dan bawang yang harus ia ulek. Rina menatap neneknya yang berpeluh-peluh. Ia mengamati bagaimana neneknya dengan cekatan membenahi rumah yang berantakan. Neneknya seperti punya mata dua, telinga empat, dan tangan tak terhingga. Ia bisa mendengar mesin cuci yang sudah berhenti berputar, di saat dia sedang memasak. Ia juga memasak sambil menyapu, menunggu ikannya matang hingga garing. Ia berjalan kesana-kemari menyelesaikan pekerjaannya secara bersamaan. Rina yang berumur 6 tahun, menatap polos neneknya yang masih kuat mengerjakan semuanya.
“Rina, nenek mau ke tukang sayur depan komplek. Rina mau ikut?” tanya Neneknya saat mesin cucinya mulai berhenti bergetar. Iya mengeluarkan baju-baju itu dari dalam pengeringnya.
Mata Rina berbinar riang, “Mau, Nek!” katanya antusias. Biasanya kalau neneknya pulang dari warung, Rina diperbolehkan membeli es krim di warung sebelahnya. Dalam benaknya ia sedang mencoba membayangkan es krim mana yang akan ia pilih. Pikirannya sibuk menghitung berapa es krim yang ia bisa beli jika kembalian belanja neneknya lima ribu, es krim di warung itu hanya seribu rupiah. Rina girang bukan main menyadari ia bisa membeli lima es krim.
Neneknya segera mengambil dompet butut berwarna merah marun. Bagian pinggir dompetnya sudah mengelupas. Ayah Rina sering meminta ibunya itu untuk membuang dompet butut itu. Katanya banyak kenangan dalam dompet itu, pemberian suami tercintanya. Dompet ini satu-satunya kenangan suaminya yang masih ia jaga. Katanya dompet ini hadiah dari suaminya saat mendapatkan gaji pertamanya.
Neneknya segera mengunci pintu rumahnya. Nenek menatap langit yang terang benderang, tidak ada tanda si kelabu akan datang siang ini. Angin meniup beberapa helai rambut Rina yang panjang berkibar bebas. Angin yang datang tak diundang ini terasa panas, tidak membuat peluh yang bercucuran mengering melainkan semakin deras. Rina menyesali keputusannya untuk ikut dengan neneknya pergi ke tukang sayur.
Begitulah kota Jakarta, tidak hanya mataharinya saja yang terik, bahkan anginnya seperti ditiup di atas bara api. Sebagai ibu kota, Jakarta menjadi tempat berkumpulnya seluruh perantau dari daerah. Ramainya orang yang berbondong-bondong pindah ke Jakarta, menganggap pekerjaan di sini lebih menjanjikan. Namun, kenyataannya Jakarta padat dengan perkampungan kumuh yang tak terdata. RT NOL RW NOL kata Iwan Simatupang.
“Eh Bu Lilis, kenapa baru keluar, toh? Ibu-ibu kampung baru saja bubar,” sapa Mas Bejo dengan logat jawanya. Mas Bejo ini juga orang rantauan. Sudah 5 tahun berjualan sayur di kampung ini. Mas Bejo juga salah satu pejuang hidup di Jakarta. Segala usaha ia lakukan. Dulu katanya pernah jualan bakso, siomay, mi ayam, semua dicoba, tetapi tidak ada yang bertahan lebih dari sebulan. Mas Bejo hampir saja menyerah, sampai akhirnya dia membuka warung sayur di lingkungan kampung yang jauh dari pasar. Tukang sayur keliling yang biasa berjualan di kampung ini sudah wafat tepat sebelum Mas Bejo pindah ke kampung ini.
“Saya sudah ke pasar tadi pagi, Mas. Tapi lengkuasnya kelupaan, maklum sudah tua,” kata nenek sambil bergurau. Mas Bejo tertawa mendengar gurauan nenek. Raut wajah Mas Bejo berubah. Mas Bejo menatap kasihan pada nenek.
“Berat ya, bu? Hidup sendiri, anak sudah mencar, Almarhum suami ibu orang mana, bu?” tanya Bu Santi tiba-tiba, ia masih berdiri mencari-cari ditumpukkan kangkung yang terlihat kurang segar, maklum sudah siang. Mas Bejo hanya diam sambil membereskan keranjang-keranjang sayur yang sudah kosong.
Nenek teridam, “Orang Yogya, dia merantau ke Jakarta,” kata nenek tanpa menatap mas Bejo yang menatap penuh keingintahuan.
“Suami saya kerja bolak-balik Jakarta-Yogya, paling pulang sehari-dua hari, setelah itu balik lagi ke Yogya. Bisnisnya di jalankan di sana.” jawab nenek seadanya.
“Oh... gitu ya, bu?” tanya Bu Santi dengan nada yang sinis. Rina tak mengerti apa yang terjadi, tetapi ia paham neneknya sedang menahan sesuatu. Rina bergerak-gerak gusar, ia tak senang dengan ibu-ibu di sampingnya itu. Ia terus memperhatikan lipstik merah cabai yang dipakai oleh ibu-ibu itu. Menurutnya itu lebih menarik untuk diperhatikan.
“Wah enak dong ya, ibu bisa bebas dari suami? Ibu bisa enak-enakan di sini, kan suaminya pergi ke Yogya?” tanya Bu Santi sambil tersenyum mengejek ke arah nenek. Wajahnya puas setelah mengatakan hal itu pada nenek. Rina masih asik menatap bibir Bu Santi penuh rasa ketertarikan, ia masih memikirkan kenapa bibirnya semerah itu.
“Hush, Bu Santi!” sergah Mas Bejo yang ternyata mualai panas mendengar ucapan Bu Santi. Bu Santi yang ditegur malah tertawa, kemudian menatap nenek dengan wajah yang lebih bersahabat.
“Bercanda, ya, Bu. Masa' gitu saja marah,” katanya sambil tertawa lagi. Nenek hanya tersenyum kecut, ia masih berusaha mencari lengkuas yang bagus di antara tumpukan lengkuas sisa penjualan pagi. Obrolan ini cukup membuat nenek kembali teringat dengan suami tercintanya. Ia terus berpikir, apa yang akan mas lakukan kalau di posisi ini, kalimat itu terus berulang di kepala Nenek.
***
Kenangan bersama suaminya kembali berkelebat di kepalanya. Hari itu, hari di mana mereka memutuskan untuk berpisah. Suaminya saat itu butuh pekerjaan, kebetulan saudara suaminya itu punya bisnis kopi dan sedang membutuhkan pekerja baru. Suaminya itu ditawarkan untuk mengelola bisnis yang berada di Yogyakarta.
“Aku ikut denganmu, biarkan aku menemanimu, Mas.” Kata Lilis. Lilis ingin menemani suaminya itu. Walaupun sesibuk apapun nantinya, ia ingin selalu ada di samping suaminya itu, mendukung segala yang ia usahakan demi menafkahi keluarganya.
“Tidak, kau harus di sini, temani anak-anak. Aku akan pulang setiap akhir pekan, untuk menemuimu dan melepas rindu dengan anak-anak,” katanya sambil membelai pipi istrinya lembut. Ia tahu, istrinya ini begitu khawatir jika ia harus pulang pergi sejauh itu. Namun, demi menafkahi keluarganya, ia rela melakukan apa pun.
“Anak-anak bisa kita sekolahkan di sana, Mas,” kata Lilis masih berusaha membujuk suaminya agar mereka pergi bersama-sama.
“Tidak, sayang. Anak-anak akan beradaptasi ulang dengan lingkungan baru, mereka mungkin lebih nyaman tinggal di sini,” kata suaminya menatap penuh cinta. Kemudian ia mencium kening istrinya itu, memberikan rasa tenang untuk istrinya yang gelisah. Istrinya akhirnya mengalah dan menyetujui kesepakatan itu.
Cobaan Lilis tidak berhenti sampai di situ. Banyak omongan dari keluarga besar, menanyakan mengapa Lilis tidak ikut. Lalu ada yang mengatakan, suaminya kerja masa istrinya enak-enakkan, semuanya seperti menjatuhkan Lilis di hadapan keluarga suaminya.
Suaminya dengan tenang mengatakan “Mereka, kan, tidak tahu apa yang kita lakukan. Jangan didengarkan, percuma. Itu sama saja seperti kita berdebat dengan batu, keras, dan tak punya akal,” kata-kata itu yang selalu menguatkan Lilis. Lilis selalu mendengarkan kata suaminya, selalu patuh dengan setiap perintah suaminya, ia tak bepergian ke mana pun kecuali bersama suaminya. Lilis mencoba mematahkan segala tudingan terhadapnya dengan mematuhi segala perkataan suaminya.
Masa-masa itu berlalu begitu cepat. Lilis dan suaminya saling menguatkan. Mereka menuai apa yang mereka tuai. Kenangan pahit itu, kini menjadi kenangan manis yang tersimpan dalam benak Lilis. Menguatkan dirinya dari kehampaan setelah suaminya itu berpulang.
“Sayang, percayalah. Aku tak akan benar-benar meninggalkanmu. Kau akan selalu melihat diriku, dalam dirimu. Aku tak akan pergi meninggalkanmu walau ragaku tak bersamamu. Aku akan selalu ada di setiap bayangmu. Kau akan menemukanku di sekitarmu. Jangan bersedih bila kutiada, ya?” katanya di detik-detik sebelum suaminya pergi.
***
Nenek tersadar dari lamunannya. Ia akhirnya mengambil dua kantong lengkuas yang ia ambil asal. Nenek segera memberikannya kepada Mas Bejo agar segera dihitung. Nenek memberi isyarat agar lebih cepat. Udara semakin memanas, sekali lagi Bu Santi berbicara, rasanya ingin disumpal dengan cabai pedas. Nenek mencoba menenangkan diri. Nenek mengambil napas, lalu membuangnya dengan mulut. Emosi nenek mulai mereda.
“Bu Lilis, gak ingin nikah lagi? Saya kasihan melihat Bu Lilis sering dititipi cucu seperti ini. Bu Lilis, kan, masih cantik pasti banyak yang mau,” celetuk Bu Santi dengan nada simpati. Namun nenek tahu itu palsu.
Nenek sudah tak kuasa menahan amarahnya. Nenek hampir membuka mulutnya untuk marah, sampai Rina berkata dengan polosnya, “Nek, Ibu itu abis makan cabai ya? Lihat, masa’ bibirnya merah, trus dower lagi,” Rina bergidik ngeri. Nenek tertawa dibuatnya, Mas Bejo pun sepertinya tak kuasa menahan tawa.
Bu Santi bersiap untuk memarahi Rina, matanya melotot marah, bibir merahnya membuka lebar memperlihatkan sederet giginya yang tidak rata. Sebelum Bu Santi bisa berkata, nenek menyela, “Mau sih, bu. Saya tinggal nunggu suami Bu Santi jadi duda aja. Kan, kata Bu Santi saya masih cantik, kali aja banyak duda yang mau,”
Bu Santi semakin marah. “Bercanda, Bu. Masa’ gitu aja marah,” kata Mas Bejo menimpali, masih menahan tawanya. “Ini, Bu Lilis. Gak perlu bayar, hitung-hitung penghabisan,” kata Mas Bejo. Nenek tersenyum sambil mengucapkan terima kasih pada Mas Bejo.
Nenek menggendong Rina menuju warung jajan. “Kok nenek gak jawab sih, pertanyaan Rina,” protes Rina yang masih penasaran dengan bibir merah Bu Santi.
Nenek menatap Rina dengan mata berkaca-kaca. Kau tak pernah berbohong, Mas. Saat kau mengatakan tidak akan pernah pergi meninggalkanku, sekalipun ragamu tak di sini. Kau menyisipkan dirimu ke dalam cucu kita. Terima kasih, mas, karena tak pernah benar-benar meninggalkanku, kata nenek dalam hati. Nenek mencium pipi tembam Rina.
“Iya, sayang. Ibu itu kebanyakan makan cabai, kasihan ya?” jawab Nenek. Rina mengangguk setuju sambil berjanji tidak akan makan cabai berlebihan dalam benaknya.
nyebelin emg emak-emak gitu wkwkkk
BalasHapusEmak-emak emaang:)
BalasHapus