Perbincangan Tengah Malam


Angin pendingin ruangan berhembus perlahan memenuhi atmosfer ruangan. Suara mesin pendingin ruangan yang mendesing, menggema di langit-langit ruangan. Ruangan dengan penerangan yang hanya seberkas dari sela-sela jendela itu milik seorang gadis bernama Gadis. Matanya terpejam, ia tidur tidak pulas, tetapi tidak juga terjaga di atas pulau kapuk yang sejujurnya empuk dan hangat. Lampunya sudah dimatikan sejak dua jam yang lalu. Gadis meringkik di dalam selimut berwarna merah -dan uniknya selimutnya bisa dibolak-balik karena memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda- berusaha untuk terlelap. Hidungnya mampet karena dingin dari pendingin ruangan, sesekali menggosok hidung agar terasa lebih hangat.

Ayam berkokok tiga kali malam itu dengan suara yang lebih terdengar seperti teriakan pilu di tengah sunyi. Bulu kuduk Gadis berdiri, dinginnya ruangan membuatnya merinding. Cicak juga sudah berbincang-bincang sejak tadi. Rasanya ingin ia usir, tapi ia terlalu letih untuk bangkit dan mencari suara cicak yang tak tahu dari mana asalnya. Gadis sedikit iri dengan cicak-cicak itu, setidaknya ia punya teman untuk berbicara. Seandainya ia bisa bahasa binatang, ia pasti akan ikut berbincang semalaman dengan cicak dan ayam itu. Bicara apa saja, asal menemaninya semalaman.

Malam ini bulan tidak terlalu terang. Bulan seperti terbakar dan sebagian sisinya tertutup asap yang menggumpal semakin pekat dan pekat. Suara genderang petir mulai terdengar jelas. Kesunyian malam membuat petir seribu kali lebih menyeramkan dibanding di siang hari. Langit malam yang gelap juga memperjelas petir yang turun menyambar seperti pohon yang rantingnya menyebar di atas langit. Namun malam itu langit hanya bermain dengan dengan nada yang dingin membuat siapa saja yang ada di bawah meringkuk kaku. Tiada tempat untuk bersembunyi dari kejaran nada pedih milik langit.

“Hei! Buat apa tidur? Kamu ingat? Dua jam lalu makanmu terlalu banyak, kamu harus terjaga sebentar lagi agar makananmu tercerna,” sebuah suara berbisik. Gadis membalikkan badannya menghadap dinding, mencoba tidak menggubris suara tadi.

“Sudah-sudah, jangan ganggu dia,” lerai suara lain. “Gara-gara kamu bicara gitu, aku jadi teringat kejadian dua tahun lalu, waktu ibu sakit. Ingat, gak?” lanjutnya tak ingat kalau ia baru saja melarang yang lain untuk mengganggu Gadis.

“Hah? Trus hubungannya apa sama makanan?” tanya suara yang satu.

“Iya, waktu itu tugas numpuk, kan, ya?” jawabnya. Segelintir kilasan mulai menyeruak dalam benak Gadis yang sejak tadi masih berusaha untuk terlelap. Dadanya sesak untuk beberapa saat, entah karena segelintir kenangan itu atau karena posisi tidurnya yang tak nyaman.

“Iya, sih. Tapi waktu itu ayah marah-marah karena kita kurang ibadah,” lanjut suara tersebut. Aliran kenangan kembali mengalir seperti darah pada luka yang menganga. Rasanya panas dan pedih, tetapi tak pernah disembuhkan.

“Sudah-sudah, jangan berisik!” Sebuah suara melerai lagi. Gadis berbalik badan lagi. Kali ini ia merasakan panas yang luar biasa di kepala dan punggungnya. Ia menendang selimut yang membalut tubuhnya hingga tubuhnya sudah tak seperti nasi bungkus. Mungkin kali ini dia akan terlelap. Dia hanya kegerahan di ruangan dingin.

“Jangan berisik. Aku ada cerita,” lanjut suara-suara itu lagi.

“Ih nanti dulu! Adiknya saja dimaklumi, masa dia nggak,” Suara napas Gadis mulai tak beraturan. Kali ini sesaknya membuat dia berusaha dua kali lebih keras untuk bernapas. Lidahnya menjadi kelu untuk beberapa saat, ia berusaha menelan ludah yang mulai menumpuk karena lidahnya yang sempat kelu.

“Ih berisik, gak boleh iri sama adik sendiri. Udah dengarkan ceritaku saja,” katanya dengan penuh percaya diri. “Jadi, ada sepasang kekasih yang tengah menjalin asmara, hubungannya yang harmonis membuat sepasang kekasih ini memiliki hubungan yang cukup lama,” katanya memulai.

“Jangan mulai dari situ, coba ceritakan dari awal mereka bertemu,” kata yang lain.

“Oh iya, benar. Sebentar,” katanya.

“Katanya awal ketemunya waktu laki-lakinya sedang frustasi ya?” tanya suara yang lain yang sudah pernah dengar cerita ini.

“Tapi dia udah berusaha untuk jadi anak yang terbaik, kan?” kata suara lain mulai terisak. Gadis itu bangun sebentar dari tidurnya. Memindahkan posisi kepalanya di posisi kakinya dan kakinya di kepalanya. Ia mengangkat rambutnya yang tertiban lehernya. Tengkuknya mulai ikut terasa gerah. Bulir keringat mulai mengkristal di keningnya, bersiap untuk meluncur ke telinganya.

“Mungkin dia kurang berusaha. Sudah, nanti ceritanya gak selesai-selesai,” katanya. Suara itu mulai melanjutkan ceritanya, “Iya, laki-laki itu frustasi dan hampir menyerah. Namun Si perempuan berhasil membantu laki-laki itu untuk bangkit lagi. Laki-lakinya namanya Ridho, perempuannya Yaya,” katanya melanjutkan cerita.

“Kemarin namanya bukan itu?” protes suara lain yang sudah pernah dengar cerita ini. Cerita ini selalu berganti-ganti nama tokoh, padahal alur ceritanya sama.

“Iya-iya, aku lupa kemarin namanya siapa,” jawabnya sambil terkekeh.

“Padahal katanya mau memperlakukan dan mendidik anak berbeda dengan orang tua mereka. Kalau begini caranya, rasa sakitnya pun copy-paste dari rasa sakit mereka juga, dong?” kata suara yang lain. Kali ini mata Gadis terasa perih dan panas luar biasa. Hidungnya juga mulai terasa mampet karena ingus yang mulai menutupi rongga hidungnya, tetapi ia paksa masuk ke dalam tubuhnya lagi. Beberapa bulir air mata mulai mengalir dari ujung mata Gadis yang terpejam.

“Iya, ya? Memangnya samsak, bisa dijadikan pelampiasan rasa marah mereka,” timbrungnya. Kilasan kenangan kembali membanjiri benaknya, kali ini bersama banjir bandang emosi yang bergejolak dalam diri Gadis. Rasa marah, tak terima, sakit, tetapi tetap mencintai orang-orang sekitarnya membuat rasa sakitnya seratus kali lipat menghujam perasaannya.

“Sudah! Jangan berisik! Tuh dengar!” kata suara yang melerai itu sekali lagi. Kemudian terdengar suara mobil yang memasuki gang rumah Gadis.

Suara mesinnya yang kasar cukup terdengar mengganggu untuk orang lain, justru menenangkan bagi Gadis. Karena pada sepersekian menit akhirnya suara-suara itu terdiam, ikut mendengarkan suara kasar mesin mobil tetangga bak lagu menimang tidur. Gadis tahu, kalau tetangganya adalah seorang sopir angkutan umum. Jadi suara itu milik mesin mobil angkutan umum tetangganya. Ia tak heran jika demikian, suara mobil angkutan umum memang sekeras itu. Belum lagi kalau dilihat bentuk mobilnya yang catnya sudah mengelupas sana-sini. Gadis tahu, itu pasti mobil tua. Setidaknya umurnya tak kurang dari umurnya.

Kemudian hal lain yang ia sadari adalah waktu. Jika mobil itu sudah pulang, tandanya waktu menunjukkan lewat pukul 12 malam, tengah malam. Mobil-mobil angkutan umum itu sudah bekerja keras seharian. Dan ketika sebagian besar manusia mulai berhenti dari aktivitasnya, maka saat itulah mobil itu kembali ke tempat istirahatnya.  

Gadis mulai bergerak semakin gelisah, ia masih belum bisa terlelap di saat waktu terus berjalan. Gadis tahu, dia harus segera beristirahat. Namun suara-suara tersebut, tampaknya sangat enggan meninggalkan Gadis sendirian. Mereka pintar mencari celah dalam keheningan malam.

“Bapak depan sudah pulang berarti sudah lewat tengah malam, dia harus segera tidur. Sudah jangan ganggu!” katanya lagi.

“Iya-iya, tapi si Riska buat aku jadi kepikiran, deh. Dia lagi ngejauhin kita ya?” katanya.

“Nggak, hanya perasaan. Dia kan teman dekat, kita” sangkal yang lain.

“Sebenarnya, dirinya pantas gak untuk dicintai?” tanya suara-suara lain.

“Oleh siapa? Memang dia mencintai dirinya sendiri? Kamu mau tanya pantas atau enggak? Tidak usah banyak berharap,” jawab suara yang lain ketus.

“Betul juga. Tak mungkin kan ada seseorang yang mau menerima kita yang penuh kekurangan ini. Ya sudah besok, kita coba perbaiki,” kata suara yang terdengar lebih optimis.

“Eh iya, omong-omong lamaran kerja yang kemarin dikirim sudah ada balasan belum?” tanya suara lain memulai dengan masalah yang berbeda. Gadis mulai berbalik badan menghadap ke meja belajarnya. Ia menempelkan punggungnya yang masih terasa panas ke dinding, karena dindingnya terasa dingin.

“Memang pernah ada yang dapat balasan? Kalau ada namanya keajaiban,” jawabnya. Itu percakapan terakhir sebelum akhirnya Gadis mendengar dengan sayup-sayup dan terlelap. Ia tak tahu, apa yang akhirnya membuatnya tertidur dan hilangnya suara-suara itu. Ia masih dengar beberapa pertanyaan lainnya sebelum ia jatuh terlelap, tetapi semakin samar dan samar.

***

“Kak! Bangun! Kenapa?” Adli mengguncang tubuh kakaknya. Ia mendengar suara rintihan  Gadis saat memasuki kamar kakaknya itu untuk membangunkan shalat. Ia mendapati kening kakaknya mengernyit saat ia menyalakan lampu, air mata mengalir setetes-setetes dari ujung mata Gadis.

Gadis bangkit dari tidurnya tanpa sadar dirinya terduduk. Sinar lampu menyeruak masuk ke matanya secara tiba-tiba. Ia menyadari pelupuk matanya basah karena air mata. Napas Gadis keluar dengan beban ribuan ton dari paru-parunya yang tak seberapa. Ia bahkan tak ingat mimpi apa yang membuatnya menangis hingga bantalnya cukup lepek. Sakit merambat ke sekujur tubuh Gadis, punggungnya terasa nyeri dan tak bertulang. Nampaknya tidur pun enggan membiarkan Gadis beristirahat.

“Jam berapa?” tanya gadis sambil mencari telepon genggamnya. Matanya terasa sangat berat dan perih. Belum cukup waktu tidurnya, ia sudah harus bangun lagi.

“Jam lima kurang,” jawab Adli.

Gadis dengan posisi duduk menatap sekitar kamarnya. Dengan mata yang masih terasa seperti ketiban beton, ia mengeluh pada dirinya sendiri. Suara-suara dalam kepalanya tak pernah membiarkan ia sendiri dalam keheningan maupun dalam keramaian. Kenangan-kenangan yang berusaha ia kubur dalam-dalam selalu bangkit pada waktu dan tempat yang tak menentu. Bisa di toilet, di depan meja makan, di depan pintu rumah, atau terkadang saat ia sedang menggembok pagar rumah. 

Beberapa hari lalu, ia membeli obat tidur tanpa resep dokter di apotek dekat rumahnya. Obat tidur yang direkomendasikan oleh teman-temannya yang juga mengalami susah tidur. Harapannya bisa membantu Gadis untuk mengurangi otaknya untuk berpikir sebelum tidur. Namun, sialnya karena efek samping obat tidur tersebut, kini Gadis sering merasa gelisah tanpa alasan.

Obatnya sih manjur,” begitu iming-iming dari temannya. Namun, ini segenap usahanya untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Setelah beberapa hari pemakaian, Gadis akhirnya menyadari bahwa obat tersebut memiliki efek samping pusing dan gangguan kecemasan. Setelah ia merasakan pusing yang luar biasa itu, ia segera berhenti meminum obat tersebut.

Benak Gadis melayang pada kenangan yang telah ia lampaui. Hidup Gadis yang kata orang begitu-begitu saja, nyatanya penuh dengan beling dan bara api yang dipijak kakinya. Ada kalanya Gadis berada di titik yang tak mampu ia merangkak dari dalamnya. Penuh dengan amblesnya harapan yang telah ia pupuk sejak lama. Keinginan-keinginan yang sebenarnya bukan miliknya menjadi list pertama yang harus ia gapai dan kerjakan. Sedangkan harapannya, harus berada pada urutan di waiting list yang entah kapan akan tercapai.

Mading belajarnya yang penuh dengan catatan-catatan berwarna kuning itu adalah saksinya. Guratan harapan yang dulu ia dambakan, mulai luntur tintanya karena termakan oleh waktu. Buku-buku di rak dinding yang dulu pernah menjadi puncak kesenangannya itu kini berdebu tak terjamah oleh jari-jari manis milik Gadis.

Setelah menilik masa lalu yang haus ia lihat oleh dirinya di masa kini, Gadis kembali pada ingatan tentang betapa masamnya wajah ayahnya saat berbicara dengannya. Garis dan gurat wajahnya memperjelas kekecewaan laki-laki paruh baya itu pada anak gadisnya, anak pertamanya. Keriput-keriput di ujung matanya dan di seluruh wajahnya ikut mengkerut lebih jelas. Matanya yang menatap tajam Gadis seolah-olah Gadis telah melakukan kesalahan terfatal yang sulit untuk dimaafkan.

“Kamu tuh gak cukup usahanya,”

“Ya, ayah punya solusi apa lagi? Kepala aku sakit karena harus menahan rasa kantuk karena mengikuti kemauan ayah untuk terus bergerak di siang hari,” keluh Gadis. Sebenarnya harapannya ayahnya dengan rasa iba dan kasihan akan menawarkan ia untuk pergi ke rumah sakit, untuk memeriksa apa yang menyebabkan Gadis sulit tidur, atau setidaknya memeriksakan kenapa telinga terus berdenging dan sakit. Gadis menunggu jawaban Ayahnya penuh harapan bahwa ayah dan ibunya benar-benar peduli dengannya.

“Kamu itu gak seperti ayah dulu, ya?” ucapnya. Dadanya terasa sesak sesaat seakan-akan udara yang baru saja masuk melalui hidungnya, tersedot keluar dan menyisakan sesak yang luar biasa. Ia menyadari hal terburuk yang lain berdasarkan skenarionya hari itu. Gadis enggan membicarakan apa yang ia sadari saat mendengar kata tersebut dari mulut Ayahnya. Ibu yang duduk diam hanya berpangku tangan, tidak terganggu dengan segala perdebatan yang terjadi di depannya. Tak berpihak pada siapapun seperti enggan terlibat dalam perdebatan Gadis dan ayahnya.

Kemudian, Gadis memilih untuk tidak mendengar apa pun. Ia memandang telepon genggamnya dan mencoba memfokuskan pada sesuatu yang lebih lucu dan menarik.

“Kak! Shalat!” Tegur Adli.

Kemudian Gadis tersadar dari lamunannya. Sekali lagi, napas dengan berat ribuan ton itu ia hembuskan sebelum ia beranjak pergi ke kamar mandi. Begitulah cerita seorang Gadis dengan pikirannya yang tak pernah membiarkannya sendirian.

 


Komentar

Postingan Populer